Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Astra International, dari Hampir Bangkrut Hingga Kecanduan Startup Digital

Harga saham Astra International tengah anjlok 15,97% sepanjang awal tahun ini. Kinerja yang positif dan ekspansi membangun startup pun tidak mampu menghijaukan saham blue chip tersebut. Berikut kisah perjalanan Astra dari awal didirikan hingga saat ini.

Bisnis.com, JAKARTA – Harga saham PT Astra International Tbk. tengah anjlok 15,97% sejak 31 Januari 2019. Berita emiten berkode ASII itu kembali menyuntikkan modal ke Gojek pun tidak mampu menahan laju penurunan harga sahamnya. Sebenarnya, bagaimana sih kisah perjalanan Astra hingga bisa sampai seperti saat ini?

Astra adalah perusahaan multinasional diversifikasi berkantor pusat di Jakarta yang total memiliki 226 anak perusahaan, perusahaan asosiasi, dan pengendali bersama entitas tujuh segemen usaha.

Berdasarkan anggaran dasar, tujuh segmen usaha tersebut antara lain otomotif; jasa keuangan; alat berat, pertambangan, konstruksi dan energi; agribisnis, infrastruktur dan logistik, teknologi informasi; serta properti.

Seperti makna di balik namanya yang berarti terbang ke langit dan menjadi bintang terang, kini hampir segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia tak bisa jauh dari produk dan layanan Astra. Misalnya saja pada sektor penggunaan sepeda motor dan mobil, jalan tol, layanan pembiayaan, perbankan, atau asuransi, hingga yang paling spesifik seperti printer.

Padahal, Astra berawal dari sebuah perusahaan importir yang mati suri. Kala itu, William Soerjadjaja merombak perusahaan mati suri menjadi konglomerasi multinasional.

Pada awal berdiri, Astra adalah perusahaan distributor sekaligus importir limun merek Prim Club Kornet CIP.

Namun, pada 1960-an, Astra mengalihkan orientasi usahanya ke Jepang. Pelan tapi pasti, Astra mendapatkan kepercayaan untuk menjadi distributor hasil produksi Jepang pada 1970.

Saat itu, Astra ditunjuk sebagai distributor tunggal sepeda motor Honda dan alat perkantoran produksi Fuji Xerox.

Periode 1970-an menjadi era Astra agresif bekerja sama dengan perusahaan asal Jepang. Pada masa itu, Astra menderikan PT Federal Motor untuk perakitan sepeda motor honda. Selain itu, Astra juga membentuk Toyota-Astra Motor, Memasarkan produk komatsu lewat PT United Tractors Tbk., membentuk PT Astra Graphia Tbk. sebagai distribusi mesin foto kopi Xerox, dan mendirikan PT Daihatsu Indonesia.

Berlanjut ke periode 1980-an, Astra menjamah sektor usaha finansial. Mereka membentuk perusahaan pembiayaan, perkebunan sawit, sampai pendidikan seperti, Rahardja Sedaya yang kelak menjadi Astra Credit Companies, PT Suryaraya Cakrawala cikal bakal PT Astra Agro Lestari Tbk, dan Astra Education Training Centre yang kini menjadi Astra Management Development Institute.

Momen besar Astra berlanjut ke era 1990-an, perusahaan milik Soerjadjaja itu memutuskan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). ASII melepas 30 juta saham ke publik dengan harga penawaran Rp14.850 per saham.

Sayangnya, periode 1990-an juga menjadi masa kelam Astra. Pasalnya, perusahaan multinasional itu sempat hampir bangkrut pada 1998. Salah satu penyebabnya adalah kondisi ekonomi Indonesia yang dilanda krisis monenter.

Kala itu, Astra mencatat kerugian hingga Rp7,36 triliun pada semester I/1998. Bahkan, laporan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa bisa dibilang sudah bangkrut.

Masalah berlanjut, Astra justru masuk karantina Badan Penyeahatan Perbankan Nasional (BPPN). Alasannya, aset para pemilik Astra saat itu dijadikan jaminan utang di bank yang masuk perawatan BPPN.

Maret 2003, BPPN melakukan proses tender untuk saham Astra. Di sini, konsorsium Cycle & Carriage (C&C) masuk dan memenangkan tender 38,4% saham Astra dari BPPN.

Setahun kemudian, C&C menambah kepemilikan sahamnya di Astra menjadi 41,76%. Namun, pada 2004, C&C diakuisisi oleh Jardine Cycle & Carriage (JCC). Di sini, JCC menjadi pemegang saham mayoritas Astra hingga saat ini.

Berburu Startup

Bak gayung bersambut, peta jalan terkait revolusi industri 4.0 yang dluncurkan pada 4 April 2018 oleh pemerintah dengan nama Making Indonesia 4.0 sepertinya juga dihayati betul oleh Astra. 

Hal ini terlihat dari upaya perseroan yang turut menjajal investasi dan membuat sejumlah layanan berbasis teknologi digital. Misalnya saja sepanjang 2018, Astra menggelontorkan dana investasi kepada gojek senilai US$150 juta, dan pada September memperkenalkan lini bisnis Astra Digital yang menyediakan 3 layanan, meliputi Seva.id, CariParkir, dan Sejalan.

Pada tahun 2019 Astra kembali menyuntik Go-Jek dengan mahar US$100 juta. Tidak berhenti sampai di situ, keduanya sepakat memperkuat kolaborasi dengan membentuk perusahaan patungan yang bergerak dalam bisnis penyediaan kendaraan bagi pengemudi Go-Car. 

Strategi Astra ini seolah mempersiapkan diri dengan disrupsi teknologi yang mengancam bisnis model konvensional.

Dari sisi kinerja, ASII mencatatkan pertumbuhan penjualan sebesar 13,85% menjadi Rp239,205 triliun dibanding periode sama pada tahun sebelumnya yakni Rp206,057 triliun.

Lalu, dari segi laba bersih, perseroan juga mencatatkan kenaikan sebesar 15,02% menjadi Rp21,67 triliun

Kinerja yang kinclong itu pun belum mampu mengerek harga saham ASII hingga saat ini. Pada perdagangan Rabu (13/03/2019) Harga saham Astra International masih melemah 1,05% menjadi Rp7.100 per saham dengan kapitalisasi pasar Rp287,43 triliun dan P/E rasio 13,26 kali.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ahmad Rifai
Editor : Surya Rianto

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Infografik Lainnya

Berita Terkini Lainnya

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper