Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tangan Trump Menggoyah Pabrik di Asia

Sejumlah negara mencatatkan kinerja koreksi sektor manufakturnya.
Duwi Setiya Ariyanti,Mochammad Ryan Hidayatullah
Kamis, 8 Mei 2025 | 11:30

Bisnis.com, JAKARTA—Tangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mulai menggoyah pabrik di kawasan Asia melalui kebijakan tarif impor barang dari mitra dagang ke Negeri Paman Sam.

Seperti diketahui, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenakan tarif bea impor sejumlah komoditas kepada mitra dagangnya, termasuk negara di Asia. Kebijakan tarif Trump yang diumumkan pada 2 April 2025 itu pun mulai memberikan dampak terhadap wajah pabrik di kawasan Asia.

Dikutip dari Bloomberg, Jumat (2/5/2025), setidaknya, aktivitas sebagian besar pabrik di Asia terkontraksi pada April dengan sejumlah perusahaan yang berhadapan dengan permintaan lesu dan penghentian pesanan baru akibat berlakunya tarif dasar 10% untuk impor barang ke AS. Tercatat, kinerja manufaktur sejumlah negara Asia, seperti Korea Selatan, Taiwan, China, Indonesia, dan Thailand menderita. Hal iu tecermin pada indeks manufaktur, Purchasing Managers' Index (PMI) pada April 2025.

“Dampak tarif AS dan ekspektasi pertumbuhan ekonomi global yang lebih landai juga menurunkan proyeksi sepanjang tahun,” ujar analis S&P Global Market Intelligence Annabel Fiddes dalam keterangannya pada data Taiwan.
 
Dia menyebut dunia usaha cenderung mengantisipasi penurunan produksi dalam 12 bulan ke depan dengan pesimisme yang lebih tinggi sejak Januari 2023. Di sisi lain, mengacu pada laporan Nomura Holdings Inc., data PMI menunjukkan kemungkinan perlambatan ekspor Asia dan produksi dalam beberapa bulan ke depan. Perubahan kebijakan tarif pada negosiasi yang berlangsung bisa membawa ketidakpastian dan menekan belanja modal.

“Investor perlu mempersiapkan gejolak berikutnya,” ujar ekonom Nomura Si Ying Toh dan Sonal Varma.

Sementara itu, Filipina masih berada pada zona ekspansi dengan kenaikan PMI dari 49,4 ke 53. Begitu juga dengan India yang justru mengalami reli PMI, mencapai 58,2.

“Kenaikan signifikan pada pesanan baru ekspor pada April bisa mengindikasikan potensi perubahan produksi ke India karena pelaku usaha beradaptasi dengan perubahan lanskap perdagangan dan pengumuman tarif AS,” ujar ekonom HSBC Pranjul Bhandari dalam keterangannya.

Sementara itu, khusus di Indonesia, S&P Global menyebut, kontraksi PMI manufaktur RI disebabkan oleh penurunan tajam volume produksi dan permintaan baru. Permintaan dilaporkan melemah, baik dari pasar domestik maupun luar negeri. Menanggapi hal ini, perusahaan-perusahaan memasuki mode pengurangan tenaga kerja dengan mengurangi aktivitas pembelian dan perekrutan pada awal kuartal II/2025.

Kabar baiknya, tekanan terhadap pemasok berkurang karena tekanan kapasitas produksi menurun. Waktu pengiriman rata-rata meningkat untuk pertama kali sejak November lalu, meski hanya kecil. Bhatti menilai, bisnis di sektor manufaktur Indonesia masih optimistis bahwa volume produksi akan naik pada tahun mendatang. Meski kuat, tingkat optimisme turun ke level terendah dalam tiga bulan dan di bawah rata-rata jangka panjang.

“Perkiraan tahun mendatang terlihat positif, perusahaan berharap produksi naik karena kondisi ekonomi akan membaik dan daya beli klien dan pelanggan akan menguat. Namun demikian, ketidakpastian waktu pemulihan menurunkan harapan beberapa perusahaan," ucap Bhatti.

Senada, Kepala Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Fithra Faisal Hastiadi memproyeksi kontraksi PMI berlanjut karena efek Trump belum memberikan dampak signifikan. Fithra memperkirakan pemulihan industri dalam jangka pendek masih moderat akibat rendahnya kepercayaan bisnis dan kehati-hatian konsumen. Menurutnya, tingginya biaya input akibat tekanan nilai tukar yang berkelanjutan tetap menjadi tantangan utama.

Di satu sisi, efisiensi pemasok yang membaik mungkin dapat sedikit mengurangi tekanan produksi. Dia menekankan bahwa, pemulihan sektor secara keseluruhan sangat bergantung pada pemulihan permintaan domestik dan stabilisasi kondisi ekonomi global.

"Kami memperkirakan pembacaan PMI dalam beberapa bulan mendatang tidak akan terlalu menggembirakan, dibebani oleh ketidakpastian ekonomi global dan fluktuasi nilai tukar, serta sejalan dengan proyeksi pertumbuhan PDB tahun ini sebesar 4,8%," ucap Fithra dalam keterangannya, Jumat (2/5/2025).

Dia mengungkapkan kontraksi PMI pada April ini tak mengagetkan. Alasannya, hal itu sejalan dengan proyeksi dari SSI Research. Menurutnya, penurunan skor PMI mencerminkan koreksi musiman setelah ekspansi kuat pada Februari dan Maret yang dimotori oleh Ramadan dan Idulfitri.

Meski begitu, kata Fithra, perbaikan dalam kinerja rantai pasok menjadi titik cerah di tengah lemahnya sektor secara keseluruhan. Dia menyebut, peningkatan waktu pengiriman dari pemasok untuk pertama kalinya sejak November menunjukkan tekanan logistik mulai mereda. Hal ini berpotensi mengurangi hambatan operasional ke depannya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Infografik Lainnya

Berita Terkini Lainnya

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper