Bisnis.com, JAKARTA - Saham LQ45 tidak semuanya memberikan keuntungan capital gain sepanjang tahun berjalan ini. Volatilitas harga komoditas, ketidakpastian ekonomi global, sampai pemilu 2019 bisa jadi yang memengaruhi sentimen harga saham yang merupakan anggota Indeks LQ45 tersebut.
LQ45 adalah indeks untuk 45 emiten dengan kapitalisasi pasar dan nilai transaksi tertinggi. Anggota LQ45 akan disesuaikan setiap 6 bulan sekali.
Nah, sampai 10 bulan terakhir [Januari-Oktober], 10 emiten LQ45 yang turun paling dalam datang dari sektor rokok, batu bara, kertas, media, perbankan, ritel, dan tekstil.
Berikut rinciannya:
1. PT HM Sampoerna Tbk. [HMSP] dan PT Gudang Garam Tbk. [GGRM]
Harga saham HMSP sudah turun sebesar 42,64% dalam 10 bulan tahun berjalan pada 2019. Penurunan itu membuat Sampoerna menjadi emiten LQ45 dengan penurunan harga saham terdalam sepanjang tahun ini.
Bahkan, rilis kinerja kuartal III/2019 yang masih mencatatkan pertumbuhan laba bersih 5,62% menjadi Rp10,2 triliun belum mampu mendongkrak kinerja sahamnya.
Sepanjang bulan ini (sampai penutupan perdagangan Selasa (05/11/2019), harga saham HMSP terus melorot sebesar 2,34% menjadi Rp2.080 per saham.
Secara year to date, saham HMSP sudah ditransaksikan sebanyak 8,1 miliar lembar saham.
Total transaksi beli domestik senilai Rp17,2 triliun, sedangkan aksi jual domestik senilai Rp17,8 triliun.
Lalu, transaksi beli asing senilai Rp7 triliun dan transaksi jual asing Rp6,4 triliun.
Kepala Riset Narada Asset Management Kiswoyo Adi Joe mengatakan margin laba bersih emiten rokok memang melebar. Hal ini menunjukkan aksi meningkatkan harga jual dan efisiensi telah mampu mendongkrak kinerja.
"Apalagi, sepanjang tahun ini tidak ada kenaikan tarif cukai," ujarnya dalam catatan Bisnis.com.
Namun, harga saham emiten rokok tetap terkena sentimen negatif karena pemerintah resmi menaikkan cukai rokok pada tahun depan.
Hal itu tercermin dari harga saham Gudang Garam yang ikut menjadi 10 emiten LQ45 yang paling loyo. Emiten berkode GGRM itu menjadi emiten ke-6 dengan penurunan harga saham terdalam di indeks LQ45 sepanjang 10 bulan tahun ini.
Sepanjang bulan ini, harga saham GGRM lanjut turun 3,7% menjadi Rp53.925 per saham.
Senada dengan HMSP, kinerja laba bersih GGRM tumbuh 25,69% menjadi Rp7,24 triliun.
Lalu, saham GGRM sudah ditransaksikan sebanyak 376,7 juta lembar sepanjang tahun berjalan ini.
Mayoritas transaksi berasal dari investor domestik dengan aksi beli Rp16,4 triliun dan transaksi jual senilai Rp15 triliun.
Lalu, investor asing melakukan aksi beli saham GGRM senilai Rp10,6 triliun, sedangkan aksi jual senilai Rp11,9 triliun.
2. PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG)
Emiten pertambangan pelat merah Bukit Asam menjadi emiten kedua dengan penurunan harga saham terdalam di indeks LQ45 sepanjang 10 bulan tahun ini.
Namun, harga saham PTBA mulai menghijau sepanjang November 2019. Sepanjang bulan ini, harga saham Bukit Asam sudah naik 7,52% menjadi Rp2.430 per saham. Total kapitalisasi pasar PTBA mencapai Rp28 triliun dengan price to earning ratio (PER) sebesar 6,18 kali.
Dari sisi kinerja, PTBA mencatatkan hasil yang kurang baik seiring dengan penurunan laba bersih sebesar 21,8% menjadi Rp3,12 triliun.
Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Suherman mengatakan, kinerja perseroan dipengaruhi oleh rata-rata harga jual batu bara yang turun 7,8% menjadi Rp775.675 per ton.
Sepanjang 10 bulan tahun ini, harga acuan batu bara (HBA) emmang sudah turun 42,6% menjadi US$64,8 per ton.
Namun, angin segar berhembus pada November 2019 setelah HBA naik 2,26% menjadi US$66,27 per ton.
Apalagi, PTBA juga punya rencana akuisisi tambang di luar Sumatra.
Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan tidak bisa menjelaskan lebih detail terkait tambang batu bara yang bakal dibeli.
"Soalnya ada kesepahaman non-disclosed agreement dengan calon penjual selama belum ada perjanjian jual-beli resmi," ujarnya.
Adapun, lokasi tambang di luar Sumatra dipilih agar bisa lebih mudah dalam logistik. Saat ini, lokasi tambang perseroan di Sumatra ada cadangan sebesar 3 miliar ton, tetapi sangat kesulitan dalam prses logistiknya.
"Jadi tambang batu bara yang kami incar adalah yang sudah memiliki angkutan kereta api," ujarnya.
Selain PTBA, Indo Tambangraya Megah menjadi emiten LQ45 ke-7 yang mencatatkan penurunan saham terdalam. Sepanjang 10 bulan terakhir, harga saham ITMG sudah turun 27,45%.
Sepanjang bulan ini, harga saham ITMG masih terus turun sebesar 4,13% menjadi Rp12.750 per saham.
Dari sisi kinerja, ITMG mencatatkan penurunan laba bersih pada kuartal II/2019 sebesar 32,71% menjadi US$68,97 juta.
Untuk kinerja kuartal ketiga, ITMG masih melakukan penelaahan terbatas.
3. PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk. (INKP) dan PT Tjiwi Kimia Tbk. (TKIM)
Emiten LQ45 ketiga yang mencatatkan penurunan harga saham terdalam adalah Indah Kiat Pulp and Paper. INKP mencatatkan penurunan harga saham sebesar 38,13% sepanjang 10 bulan tahun ini.
Namun, harga saham INKP kembali naik sebesar 8,96% sepanjang bulan ini menjadi Rp7.900 per saham. Kapitalisasi pasar saham INKP menjadi senilai Rp43,22 triliun dengan PER sebesar 5,24 kali.
Dari sisi kinerja kuartal III/2019, INKP mencatatkan penurunan penjualan dan laba bersih.
Penjualan perseroan turun sebesar 1,62% menjadi US$2,47 miliar, sedangkan laba bersih turun 53,88% menjadi US$238,05 juta.
Jika ditilik dari laporan keuangannya, kinerja INKP tertekan dari penurunan penjualan segmen pulp sebesar 10,97% menjadi US%660,12 juta.
Di sisi lain, kenaikan penjualan kertas budaya, industri, tisu, dan lain-lain tidak mampu menopang penurunan penjualan segmen pulp tersebut.
Senada dengan INKP, perusahaan di bawah naungan Sinar Mas Grup lainnya, PT Tjiwi Kimia Tbk. ikut termasuk 10 emiten LQ45 dengan penurunan harga saham terdalam.
TKIM mencatatkan penurunan harga saham sebesar 21,19% sepanjang Januari-Oktober 2019. Di sisi lain, sepanjang bulan ini, harga saham TKIM sudah naik 8,73% menjadi RP11.200 per saham dengan kapitalisasi pasar Rp34,87 triliun dan PER 10,11 kali.
Dari sisi kinerja, sebenarnya TKIM mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 5,37% menjadi US$577,71 juta, tetapi laba bersih perseroan turun 29,05% menjadi US$104,73 juta.
4. PT Matahari Department Store [LPPF]
Matahari Department Store menjadi emiten LQ45 ke-4 yang mencatatkan penuruna harga saham terdalam. Sepanjang Januari-Oktober, harga saham LPPF sudah turun sebesar 34,96%. Lalu, sepanjang bulan ini, harga saham LPPF melanjutkan tren penurunan sebesar 2,75% menjadi Rp3.530 per saham dengan kapitalisasi pasar Rp9,9 triliun dan PER 12,69 kali.
Dari sisi kinerja, laba bersih LPPF juga turun 20,8% menjadi Rp1,18 triliun.
CEO dan Wakil Presiden Direktur Matahari Department Store Richard Gibson mengatakan persaingan di sektor ritel sangat kompetitif.
"Kami pun berupaya untuk meningkatkan koleksi fesyen dengan analisa yang diperkuat lewat basis loyalitas. Kami yakin bisa terus bertumbuh," ujarnya.
Basis pelanggan loyalitas aktif perseroan saat ini berjumlah 7,9 juta, tumbuh lebih dari 15% dari periode yang sama tahun lalu.
Matahari adalah platform ritel dengan 166 gerai di 75 kota di seluruh Indonesia, serta secara online melalui matahari.com. Matahari mempekerjakan lebih dari 40.000 karyawan dan bermitra dengan lebih dari 1.000 pemasok lokal serta internasional.
5. PT Surya Citra Media Tbk. (SCMA)
Surya Citra Media menjadi emiten LQ45 kelima yang mencatatkan penurunan terdalam sepanjang Januari-Oktober sebesar 33,07%. Harga saham SCMA sepanjang bulan ini pun lanjut turun 2,06% menjadi Rp1.185 per saham dengan kapitalisasi pasar senilai Rp17,5 triliun dan PER 11,67 kali.
Dari sisi kinerja, SCMA mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 16,33% menjadi Rp912,04 miliar.
Nasib saham SCMA yang memerah sudah diprediksi lewat penurunan target harga oleh JP Morgan pada Agustus 2019.
Analis JP Morgan Sekuritas Indonesia Indra Cahya menurunkan target harga SCMA menjadi Rp1.800 dibandingkan dengan Rp2.200 pada perkiraan sebelumnya.
Meskipun begitu, Indra menilai kuisisi aset digital yang dilakukan SCMA baru-baru ini merupakan langkah positif.
Dengan konsolidasi, aset digital tersebut akan menyumbang sekitar 15 persen terhadap pendapatan perseroan dan berpotensi mempercepat pertumbuhan top-line.
“Dengan kebiasaan transaksi dengan afiliasi (dari induk usaha, EMTK), kami yakin komunikasi dengan investor akan menjadi krusial terhadap performa saham secara jangka pendek,” tulisnya dalam riset.
6. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
Bank Tabungan Negara menjadi emiten LQ45 ke-8 yang mencatatkan penurunan harga saham terdalam setelah anjlok sebesar 26,03%.
Sepanjang tahun ini, harga saham BBTN telah naik 0,81% menjadi Rp1.865 per saham dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp19,75 triliun dan PER 7,03 kali.
Manajemen BBTN mengklaim tren penurunan harga saham perseroan mengikuti emiten perbankan lainnya.
Beberapa faktor yang menyebabkannya antara lain, pengetatan suku bunga pada 2018 ditambah permasalahan likuiditas.
Direktur Legal, Risk, and Compliance BTN R. Mahelan Prabantarikso mengatakan pertumbuhan harga saham yang bagus pada tahun-tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK disebabkan oleh cukup agresifnya pengembangan infrastruktur, serta kepemilikan rumah masyarakat.
Menurutnya, fokus pemerintah tersebut masih berlanjut hingga akhir-akhir pemerintahan. Namun, langkah Bank Indonesia yang meningkatkan suku bunga acuan menjadi tantangan yang cukup berat bagi industri perbankan termasuk BTN untuk menunjukkan kinerja optimal.
"Kondisi yang ketat tersebut tentunya membuat sedikit tekanan. Setidaknya, butuh relaksasi sedikit lagi untuk mendorong kinerja dan kepercayaan investor kembali," katanya.
7. PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL)
Sri Rejeki Isman menjadi emiten LQ45 ke-10 yang mencatatkan penurunan terdalam sepanjang Januari-Oktober 2019. Harga saham emiten berkode SRIL itu lanjut turun 0,69% menajdi RP284 per saham dengan kapitalisasi pasar Rp5,81 triliun dan PER 4,9 kali.
Dari sisi kinerja, perseroan mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 2,44% menjadi US$72,21 juta.
Adapun, isu terakhir yang dibahas terkait SRIL adalah penerbitan suratutang senior senilai US$225 juta. Penerbitan surat utang yang mendapatkan peringkat Ba3 dari Moodys itu akan digunakan untuk membayar utang kembali atau refinancing dan modal kerja.
Dana itu akan digunakan untuk melunasi surat utang senior dengan bunga 8,25% dan jatuh tempo pada 2021. Jumlah pokok utang SRIL per 30 Juni 2019 senilai US$174,52 juta.
Sisa dana US$45,28 juta akan digunakan untuk modal kerja dan keperluan perseroan secara umum.
Manajemen SRIL menilai pelunasan surat utang yang jatuh tempo 2021 membuat likuiditas perseroan menjadi lebih fleksibel.
"Sisa dana dari penerbitan surat utang untuk refinancing tiu pun bisa meningkatkan likuiditas dan kinerja kami," ujarnya.