Bisnis.com, JAKARTA— Kinerja reksa dana masih mampu mendulang cuan di tengah kondisi pasar modal yang rawan gejolak.
Berdasarkan data Infovesta Utama per akhir Juni 2025, kinerja indeks reksa dana sepanjang tahun diwarnai penguatan. Indeks reksa dana pendapatan tetap, misalnya memimpin dengan pertumbuhan 3,71%. Kemudian, indeks reksa dana pasar uang tumbuh 2,46% dan indeks reksa dana campuran tumbuh 0,53%. Hanya indeks reksa dana saham yang masih terkoreksi, yakni -2,46% pada periode yang sama.
Hal itu turut dipengaruhi oleh kinerja aset dasarnya. Sebagai gambaran, kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) masih merah dengan -2,15%. Sementara itu, indeks obligasi Indonesia Composite Bond Index (ICBI) tumbuh 5,43%.
Menariknya, sejumlah produk mengungguli kinerja indeks dan aset acuannya. Di kelas reksa dana pendapatan tetap, mayoritas produk reksa dana pendapatan tetap membukukan kinerja positif. Dari data tersebut, hanya tiga produk reksa dana yang membukukan kinerja negatif dari total 181 produk.
Adapun, lima produk reksa dana tercatat membukukan return paling tebal pada periode yang sama. Pertama, Insight Simas Asna Pendapatan Tetap Syariah I Asna dengan kinerja tumbuh 6,92%. Kedua, Bahana Sukuk Syariah sebesar 6,78%. Diikuti oleh Bahana Pendapatan Tetap Syariah Generasi Gemilang dengan imbal hasil 6,08%.
Kemudian, Majoris Sukuk Andalan Indonesia dengan imbal hasil 6,05%. Terakhir, Trimegah Obligasi Nusantara dengan return 6%.
Di kelas reksa dana saham, dari total 184 produk reksa dana saham, hanya 31 produk yang membukukan kinerja positif, lebih dari 0% secara bulanan. Pada jajaran lima produk reksa dana saham dengan return paling tebal, terdapat, pertama, Anargya Superfund Equity Growth dengan imbal hasil 9,91% secara bulanan.
Kedua, HPAM Ekuitas Syariah Berkah dengan return 8,88%. Ketiga, Aurora Sharia Equity dengan 5,84%. Keempat, HPAM Ultima Ekuitas 1 dengan imbal hasil 5,41%. Kelima, Pacific Saham Syariah III dengan imbal hasil 4,23%.
Di deretan reksa dana pasar uang, kinerja positif terlihat pada 142 produk dari total 144 yang didata oleh Infovesta. Adapun, dua produk dengan kinerja terendah, mengalami koreksi, yakni -4,05% dan -11,31%. Di antara produk dengan kinerja positif, dimulai dari 0,63% hingga 6,49%.
Pada urutan pertama, terdapat produk BNI-AM Likuid Prioritas IV dengan kinerja 6,49%. Kedua, PNM Dana Maxima dengan 4,04%. Ketiga, PNM Dana Tunai sebesar 3,3%. Keempat, Ashmore Dana Pasar Uang Syariah dengan 3,23%. Terakhir, Insight Retail Cash Fund (I-Retail Cash) sebesar 3,21%.
Untuk reksa dana campuran, kinerja 60 produk yang positif dari 95 produk yang tercatat. Kinerja positif reksa dana campuran ini mulai dari 0,24% hingga 8,95%. Sementara itu, produk yang terkontraksi mulai dari -0,01% hingga -21,04% pada periode yang sama.
Pada deretan produk dengan return paling tebal terdapat, pertama, Capital Balanced Fund yang diterbitkan oleh Capital Asset Management dengan 8,95%. Kedua, HPAM Balanced Fund Kelas A milik Henan Putihrai Asset Management dengan return 8,76%. Ketiga, HPAM Flexi Indonesia Sehat Kelas A dengan 8,04%. Keempat, Jasa Capital Campuran Harmonis oleh Jasa Capital Asset Management dengan return sebesar 7,13%. Kelima, Capital Optimal Balanced sebesar 6,46%.
Kendati demikian, kinerja aset yang terkoreksi bukan berarti perlu dihindari seutuhnya. Kinerja di masa depan bisa saja lebih baik sehingga masa koreksi bisa menjadi kesempatan untuk mengakumulasi. Hal itu pun tecermin pada data performa pekan pertama Juli 2025.
Infovesta Equity Fund Index menguat 0,56% pada pekan lalu. Kinerja itu mengungguli indeks reksa dana lainnya, yaitu Infovesta Balanced Fund Index menguat 0,39%, Infovesta Fixed Income Fund Index naik 0,25%, dan Infovesta Money Market Fund Index menguat tipis 0,11%.
Pada saat yang sama, IHSG sepanjang 30 Juni—4 Juli 2025 tercatat turun 0,47% ke level 6.865,19. Sementara itu, indeks obligasi tercatat menguat yaitu Infovesta Government Bond Index naik 0,26% dan Infovesta Corporate Bond Index naik 0,11%.
Tim analis Infovesta Utama menyampaikan dalam sepekan ke depan, pasar akan wait and see rilis data domestik seperti cadangan devisa dan indeks keyakinan konsumen.
Salah satu sentimen global yang dicermati ialah risalah pertemuan The Fed atau FOMC Minutes dan kelanjutan tarif Trump yang akan melewati tenggat pada 9 Juli 2025. Sebelumnya, Presiden Federal Reserve Bank of Atlanta, Raphael Bostic, mengatakan bahwa perekonomian AS belum menghadapi dampak penuh dari tarif dagang Trump, dan menegaskan kembali harapannya untuk satu kali penurunan suku bunga The Fed pada tahun ini.
“Pada pasar saham, penguatan diprediksi berlanjut tetapi secara lebih terbatas,” tulisnya dalam publikasi riset, Senin (7/7/2025).
Menurut Infovesta Utama, pasar masih berpotensi menguat secara teknis sehingga investor masih dapat memanfaatkan buy on weakness pada saham berkapitalisasi pasar jumbo atau big caps dengan valuasi saham yang lebih rendah dari seharusnya atau undervalued. Untuk obligasi, trennya mendatar dengan potensi kenaikan yield diprediksi terjadi dikarenakan peningkatan risiko geopolitik antara Iran dengan Israel.
Terkait strategi investasi, Chief Investment Officer PT Inovasi Finansial Teknologi (Makmur) Stefanus Dennis Winarto mengatakan bahwa gejolak di pasar modal mendorong investor untuk menerapkan strategi diversifikasi. Dia mengatakan bahwa instrumen investasi yang bisa dipertimbangkan saat pasar saham sedang lesu yakni reksa dana, khususnya reksa dana pendapatan tetap.
“Reksa dana pendapatan tetap sebagian besar berinvestasi pada obligasi, yang cenderung lebih stabil daripada saham,” katanya saat ditemui di Jakarta, Rabu (19/3/2025).
Menurutnya, ada beberapa reksa dana pendapatan tetap yang memberikan pendapatan secara rutin kepada investor dalam bentuk dividen, sehingga instrumen ini dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan pasif. Selain itu, dia mengatakan bahwa sebagai pilihan investasi yang cenderung stabil, reksa dana pendapatan tetap masih menjadi primadona investor di Tanah Air.
Tak heran bila kinerja moncer ini membawa dampak terhadap pertumbuhan basis investor. Jumlah investor pasar modal Indonesia tercatat telah mencapai 17 juta single investor identification (SID) pada Kamis (3/7/2025). Capaian ini menunjukkan pertumbuhan jumlah investor telah melampaui target 2 juta investor baru yang ditetapkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2025.
Berdasarkan data BEI, jumlah investor pasar modal telah meningkat sebanyak 2.144.690 SID atau lebih tinggi 11,42% dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2024 yang tercatat sebanyak 14.871.639 SID. Sekretaris Perusahaan BEI Kautsar Primadi Nurahmad mengatakan sejak 2020, jumlah investor pasar modal Indonesia terus bertumbuh pesat.
Pada 2020, jumlah investor tercatat sebesar 3,8 juta SID. Angka itu kemudian mengalami pertumbuhan sebesar 93% atau bertambah 3,6 juta SID menjadi 7,4 juta SID pada 2021.
Pada 2022, jumlah investor bertambah sebesar 38% atau 2,8 juta SID menjadi 10,3 juta SID. Jumlah investor pasar modal kembali meningkat pada 2023, yaitu sebesar 17,9% atau 1,9 juta SID menjadi 12,1 juta SID. Selanjutnya, jumlah investor tumbuh sebesar 22,2% atau 2,7 juta SID menjadi 14,8 juta SID pada 2024 yang hingga saat ini telah mencapai 17 juta SID.
“Salah satu strategi utama BEI untuk mendorong pertumbuhan investor adalah berkolaborasi aktif dengan seluruh stakeholder untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat melalui edukasi dan sosialisasi yang masif, berkelanjutan serta adaptif terhadap perkembangan zaman,” paparnya dalam keterangan resmi, Sabtu (5/7/2025).
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual reksa dana. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.