Bisnis.com, JAKARTA – Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR dalam Sidang Paripurna pada Senin (5/10/2020). Meski pemerintah menyatakan beleid ini diperlukan untuk memangkas birokrasi, tetapi dalam perjalanannya justru menuai kontroversi.
Setelah dilantik sebagai Presiden periode 2019-2024 pada Oktober 2019, Presiden Joko Widodo menyoroti tumpang tindihnya regulasi di berbagai sektor. Hal ini dinilai menghambat investasi serta pertumbuhan lapangan kerja di Indonesia.
Awalnya, keinginan itu disambut baik oleh publik, termasuk para pekerja, karena diharapkan dapat menghapus berbagai birokrasi yang tidak efektif. World Bank pun, dalam laporan Ease of Doing Business (EoDB) 2020, menyebutkan Indonesia hanya berada di ranking 73 dari 190 negara. Sementara itu, Global Competitiveness Index 2019 yang dirilis World Economic Forum (WEF) menempatkan Indonesia di posisi ke-50 dari 141 negara.
Dua laporan itu masing-masing menunjukkan seberapa mudah mendirikan bisnis di suatu negara dan seberapa tinggi daya saing negara tersebut jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia.
Namun, dalam perkembangannya, sambutan positif itu menghilang dan kini sebagian besar masyarakat menilai Omnibus Law UU Cipta Kerja justru berat sebelah. Alih-alih melindungi dan mendukung para pekerja, UU tersebut dipandang terlalu pro pengusaha dan elite serta tidak berpihak ke kelestarian lingkungan.
Pembahasannya yang terkesan tertutup dan pengesahannya yang tampak dilakukan dengan sangat cepat di Parlemen makin menambah sentimen negatif terhadap UU ini. Sejumlah elemen masyarakat pun sudah menyampaikan rencana untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan regulasi tersebut.
Bagaimana sebenarnya kronologi pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan apa saja poin-poin yang dianggap bermasalah di dalamnya?