Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bangun Kongsi Demi Mencicipi Kue Perbankan Digital di Indonesia

Pandemi Covid-19 mempercepat digitalisasi di semua lini, tak terkecuali perbankan. Kongsi antara perusahaan teknologi dan perbankan pun tak terelakkan. Siapa saja yang sudah masuk ke Indonesia?

Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini mengumumkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 270,2 juta jiwa. Angka ini, yang dibarengi dengan masih terbatasnya akses ke layanan finansial, menjadi daya tarik luar biasa bagi perbankan digital.

Area yang bisa dibilang belum dikembangkan dengan optimal ini menjadi ladang yang menarik untuk digarap, baik oleh perbankan lokal maupun entitas asing. Apalagi, dengan jumlah masyarakat yang unbanked alias belum tersentuh akses layanan finansial sama sekali, yang menurut Bank Indonesia (BI) jumlahnya mencapai 83,1 juta orang per 2019.

Secara khusus, sebanyak 62,9 juta Usaha Kecil Mikro Menengah (UMKM) juga masuk dalam kategori ini. Padahal, UMKM digadang-gadang sebagai kontributor bagi lebih dari 60 persen ekonomi nasional.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut rasio kredit UMKM dari perbankan baru menyentuh 18,71 persen per Oktober 2020, dengan baki kredit Rp1.025 triliun. Angka ini masih di bawah target 20 persen yang ditetapkan otoritas.

Di sisi lain, Indonesian Digital Report 2020 dari Hootsuite menyebutkan ada 338,2 juta koneksi ponsel di Indonesia.

Laporan yang sama menyebutkan ada 175,4 juta pengguna internet, yang merefleksikan penetrasi internet sebesar 64 persen. Tingkat penetrasi ini hanya sedikit di bawah rata-rata Asia Tenggara, yang sebesar 66 persen.

Kondisi ini bisa jadi berubah lebih cepat seiring dengan pandemi Covid-19. Laporan e-Conomy 2020 dari Google, Temasek, dan Bain & Company menyatakan bahwa pandemi memicu akselerasi konsumsi digital karena banyak yang mencoba menggunakan layanan digital untuk pertama kalinya.

Tercatat ada 44 persen yang mulai menggunakan layanan pengajuan kredit secara online di seluruh Asia Tenggara. Kemudian, 47 persen menggunakan layanan digital untuk berbelanja produk segar (groceries) dan 55 persen untuk pendidikan. Adapun untuk layanan pesan antar makanan, ada 37 persen konsumen baru.

"Platform pesan antar makanan GrabFood, Deliveroo, FoodPanda, dan Gojek menyediakan cara bagi bisnis makanan dan minuman untuk melakukan transisi ke online secara cepat. Pada yang sama, Shopee membuat Seller Support Package untuk membantu para penjual lokal menjalankan usahanya lewat e-commerce," demikian disampaikan di laporan tersebut.

Dengan demikian, layanan pembayaran digital dan jasa pesan antar makanan atau barang lewat aplikasi pun menjadi jalan untuk mengubah status unbanked maupun underbanked (kelompok yang sudah memiliki rekening perbankan tetapi belum mendapat layanan finansial).

Apa yang disampaikan laporan-laporan itu sejalan dengan hasil riset Moody's mengenai digitalisasi perbankan yang dirilis pada Desember 2020.

"Pandemi akan memberikan percepatan bagi digitalisasi perbankan di Indonesia, yang sebelumnya sudah berjalan didorong oleh perubahan perilaku konsumen yang disebabkan pesatnya penggunaan ponsel pintar dan maraknya financial technology (fintech)," papar Moody's.

Moody's juga menyinggung besarnya penduduk berusia muda karena membuka potensi perkembangan layanan keuangan digital yang lebih luas nantinya.

MODAL BESAR

Namun, untuk menggarap pasar yang besar seperti Indonesia, tentu butuh modal dan dukungan yang besar. Tidak heran jika OJK kemudian mendengungkan keinginan untuk mendorong merger, alias konsolidasi, di sektor perbankan Indonesia.

OJK memang telah menaikkan ketentuan Modal Inti Minimum (MIM) bank ke angka Rp3 triliun, lewat Peraturan OJK (POJK) Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Secara tersirat, mereka mengamini bahwa regulasi ini dirancang dengan semangat memastikan persaingan perbankan tidak saja menguat secara kuantitas, tapi juga secara kualitas. Terutama, kualitas permodalan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan konsolidasi hampir pasti berdampak positif terhadap peningkatan modal suatu bank. Pada ujungnya, aspek modal inilah yang akan membuka ruang bagi bank agar punya tenaga untuk adu inovasi guna menarik nasabah, terutama pada era digitalisasi.

“Kami sudah minta plan perbankan dari awal. Apabila plannya tidak bisa, kita bisa preventif untuk mengundang investor, untuk mencari partner,” tuturnya ketika menjadi pembicara dalam acara Bisnis Indonesia Business Challenge, Selasa (26/1).

Wimboh juga tak menyanggah kemungkinan aksi konsolidasi dalam bentuk akuisisi perbankan akan lebih banyak terjadi pada tahun ini dibandingkan pada 2020.

"Sehingga trennya akan lebih banyak lagi bank yang melakukan akuisisi dan merger. Ini bagus untuk mencegah permasalahan dan lebih dini untuk melakukan itu," sebutnya.

Berdasarkan catatan Bisnis, sudah ada berbagai bank lokal yang bekerja sama dengan entitas asing untuk menggarap bank digital di Indonesia. Mulai dari raksasa e-commerce China Alibaba yang masuk ke PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia (ASI).

Akulaku adalah fintech yang mendapat pendanaan dari Alibaba sejak putaran pendanaan pada 11 Januari 2019. Alibaba masuk ke perusahaan ini melalui Ant Group Co., anak usahanya yang bergerak di sektor finansial.

Kemudian, Tencent–yang juga berasal dari China–yang investasinya berlabuh di Gojek sejak 2018. Pada Desember 2020, Gojek resmi mengakuisisi saham PT Bank Jago Tbk. (ARTO).

Direktur Utama Bank Jago Kharim Gupta Siregar menggambarkan nantinya Bank Jago bisa menyalurkan pinjaman ke mitra-mitra Gojek, seperti pengemudi maupun merchant. Rekam jejak para mitra sudah diketahui oleh Gojek, sehingga bisa menjadi referensi dalam proses analisisi risiko calon nasabah.

Ada pula Sea, pemilik e-commerce Shopee, yang menjadi pemegang saham pengendali PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE). Bank ini digadang-gadang disiapkan menjadi bank digital.

Pada awal Desember 2020, Sea Group mendapatkan lisensi sebagai Digital Full Bank (DFB) di Singapura dari Monetary Authority Singapore (MAS).

Terakhir, kongsi antara Standard Chartered Plc dan Bukalapak, yang terang-terangan menyebutkan akan berkolaborasi untuk menggarap perbankan digital di Indonesia. Keduanya menyampaikan kemitraan ini bakal memperluas misi mereka menyediakan akses layanan keuangan yang lebih baik bagi konsumen di Indonesia.

"Kerja sama perdana kami dengan Bukalapak menegaskan komitmen Standard Chartered Bank untuk memperkuat kehadiran kami di dalam negeri. Kami yakin kemitraan dengan salah satu unikorn pertama dan e-commerce yang unggul di Indonesia ini akan memungkinkan kami untuk menciptakan solusi yang dapat mendorong inklusi finansial di Indonesia," papar Cluster CEO, Indonesia & ASEAN Markets (Australia, Brunei & the Philippines) Standard Chartered Andrew Chia.

Bagaimana hasil kemitraan-kemitraan ini? Mampukah kongsi bank dan perusahaan teknologi tersebut sukses melayani kelompok unbanked dan underbanked ini?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Annisa Margrit
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Infografik Lainnya

Berita Terkini Lainnya

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper