Bisnis.com, JAKARTA - BRICS yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, digadang-gadang menjadi kekuatan ekonomi baru dunia di masa depan.
Popularitasnya yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir, membuat sejumlah negara tertarik untuk bergabung. Terakhir, 22 negara dikabarkan berminat bergabung. Indonesia dikabarkan menjadi salah satu negara yang tertarik masuk sebagai anggota BRICS.
Salah satu alasan tingginya minat berbagai negara untuk bergabung di BRICS adalah karena adanya misi dari negara berkembang untuk ‘melawan’ dominasi Amerika Serikat dan negara maju lain di sektor ekonomi.
Adapun, ekonom Goldman Sachs Jim O'Neill adalah orang pertama yang menciptakan istilah BRIC sebelum Afrika Selatan bergabung pada 2010.
Kala itu, Jim O'Neill percaya jika BRIC akan mendominasi ekonomi global pada tahun 2050 mendatang. O'Neill pada 2001 menyampaikan pendapatannya bahwa negara-negara BRIC diharapkan tumbuh lebih cepat daripada Kelompok Tujuh (G7).
BRIC pun digadang-gadang menjadi tandingan dari kelompok G7 yang dibentuk oleh negara-negara maju termasuk Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Inggris, AS, dan Jepang.
Dalam makalahnya yang berjudul “Membangun BRIC Ekonomi yang Lebih Baik”, O'Neill mempresentasikan pandangannya tentang potensi negara-negara BRIC.
Kemudian pada 2003, Roopa Purushothaman dan Dominic Wilson (rekan O'Neill di Goldman Sachs) mempresentasikan sebuah laporan berjudul “Dreaming with BRICs: The Path to 2050”.
Mereka berdua mengklaim bahwa pada 2050, BRIC akan menjadi lebih menonjol daripada G7 dan mengubah tampilan ekonomi dunia dalam empat dekade.
Adapun, BRICS memang memiliki daya tarik yang cukup tinggi bagi berbagai negara lain. Sebab, sejak awal didirikan, negara anggota sepakat untuk mengumpulkan US$100 miliar dalam bentuk mata uang asing, yang dapat mereka pinjamkan satu sama lain selama keadaan darurat.
Fasilitas likuiditas tersebut mulai beroperasi pada 2016. BRICS bahkan telah mendirikan lembaga keuangan yang terinspirasi oleh World Bank (Bank Dunia) yakni New Development Bank (NDB). Lembaga keuangan itu telah menyetujui lebih dari US$30 miliar dalam bentuk pinjaman untuk proyek-proyek strategis seperti infrastruktur air dan transportasi.