Bisnis.com, JAKARTA — Komoditas logam penyusun baterai kendaraan Listrik atau EV, seperti nikel, lithium, dan kobalt, meredup harganya sepanjang tahun ini setelah popularitasnya melejit pada 2022.
Hal itu seiring banyak negara dan investor berlomba-lomba untuk masuk tambang logam-logam tersebut yang menyebabkan banjirnya pasokan. Sementara itu, permintaan kendaraan listrik ditengarai tak setinggi yang diharapkan karena inflasi tinggi menekan permintaan konsumen.
Nikel di London Metal Exchange (LME), misalnya, harganya telah tergerus mendekati 40% secara year-to-date (ytd), menjadi komoditas dengan performa terburuk sejauh ini. Harga lithium juga telah anjlok hampir 70% sepanjang tahun ini.
"Harga lithium akan terus menghadapi tekanan penurunan pada 2024 dan 2025 karena pelepasan sumber pasokan baru melebihi permintaan," kata Li Jiahui, analis di perusahaan perdagangan Xiamen Xiangyu New Energy Co., pada konferensi akhir bulan lalu.
Indonesia, sebagai salah satu negara lumbung nikel dunia termasuk yang berkontribusi pada banjirnya pasokan di pasar internasional. Fasilitas pengolahan nikel di Indonesia demikian menjamur dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan akan ada 111 unit smelter baru yang akan beroperasi dalam beberapa tahun mendatang.
Sepanjang tahun lalu, Indonesia memproduksi 1,6 juta metrik ton nikel, terbesar di dunia. Jumlah tersebut juga setara 48,485 dari total produksi nikel dunia sebesar 3,3 juta ton.
Selain menjadi produsen nomer satu, Indonesia juga memiliki cadangan nikel terbesar dunia dengan Badan Survei Geologi AS (USGS) mencatat angkanya mencapai 21 juta metrik ton pada 2022.
Sementara itu, Benchmark Mineral Intelligence memperkirakan akan ada kelebihan pasokan ketiga logam baterai tersebut selama beberapa tahun ke depan. Pasar nikel dan lithium masing-masing tidak akan mengalami defisit hingga 2027 dan 2028, sementara permintaan akan melebihi pasokan kobalt mulai 2026.