Bisnis.com, JAKARTA — Minyak berjangka Brent saat ini menuju kisaran harga tahunan terendah sejak 2004, sementara pengukur volatilitas pasar menyentuh titik terendah dalam hampir satu dekade awal tahun ini.
Kini, para pedagang komoditas dan pemilik kilang minyak tengah bergulat dengan kondisi yang sulit. Kombinasi antara kelebihan pasokan, lemahnya permintaan, dan perlambatan ekonomi China, importir terbesar dunia, semakin menekan harga minyak.
Terlebih, faktor-faktor pendorong volatilitas harga seperti situasi geopolitik semakin memudar.
Harga minyak yang lebih rendah berdampak langsung pada koreksi pertumbuhan laba sejumlah perusahaan komoditas dunia, sebut saja Glencore dan Gunvor Group.
Sejumlah firma investasi memangkas proyeksi harga minyak mereka untuk tahun ini dan tahun depan. Morgan Stanley misalnya, kini memperkirakan rata-rataa Brent 2024 berad di US$75 per barel dari sebelumnya US$80 per barel.
Proyeksi harga untuk kuartal I/2025 jug dipangkas menjadi US$75 per barel. Sama halnya dengan Bank of America yang juga baru-baru ini memangkas perkiraan harga Brent 2025 menjadi US$75 per barel dari sebelumnya US$80 per barel.
Menurut analis bank tersebut, pertumbuhan permintaan minyak global yang lemah sebesar 1,1 juta barel per hari (bpd) year-on-year pada 2025, dikombinasikan dengan peningkatan pasokan minyak non-OPEC sebesar hampir 1,6 juta bpd, akan membatasi kemampuan OPEC+ untuk meningkatkan produksi.