Bisnis.com, JAKARTA – PT Toba Bara Sejahtra Tbk. sempat menjadi perbincangan hangat jelang pemilu 2019 setelah muncul di film Sexy Killers. Nah, selain didirikan oleh Luhut B. Panjaitan, apa saja fakta lain terkait emiten berkode saham TOBA tersebut?
Pada 3 Agustus 2007, PT Buana Persada Gemilang didirikan dengan modal awal Rp20 miliar oleh PT Toba Sejahtra, perusahaan milik Luhut. Buana Persada Gemilang inilah cikal bakal dari Toba Bara yang dikenal saat ini.
Buana Persada Gemilang berganti nama menjadi Toba Bara Sejahtra pada 22 Juli 2010. Tak hanya ganti nama, modal awal perusahaan bertambah menjadi Rp135 miliar.
Langkah ekspansi TOBA makin agresif setelah melantai di bursa pada 2012. Kala itu, TOBA melepas 210,68 juta lembar sahamnya ke publik dengan harga penawaran Rp1.900 per saham.
Awalnya, bisnis utama TOBA adalah perusahaan tambang batu bara yang berlokasi di Sanga-sanga, Kalimantan Timur. Saat itu, perseroan memiliki luas konsesi sekitar 7.087 hektar.
Luas area konsesi itu milik 3 anak usaha yang diakuisisi Toba pada 2010 yakni, PT Adimitra Baratama Nusantara, PT Toba Bumi Energi, dan PT Trisensa Mineral Utama. Lokasi tambang tiga perusahaan itu juga berdekatan sehingga TOBA bisa mengintegrasikan sistem logistik dan infrastruktur secara kolektif.
TOBA pun tidak hanya bercokol di sektor batu bara. Perseroan juga mulai masuk ke sektor perkebunan kelapa sawit setelah mengakuisisi PT Perkebunan Kaltim Utama I pada 2013 senilai Rp11,25 miliar.
Perseroan pun membangun pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton per jam senilai Rp120 miliar. Pabrik itu mulai beroperasi pada 2016.
Lalu, TOBA juga menggarap bisnis sektor listrik lewat pembentukan PT Gorontalo Listrik Perdana. Anak usahanya itu mendapatkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 x 50 Megawatt di Gorontalo.
Perseroan makin agresif di sektor kelistrikan dengan mendirikan perusahaan patungan PT Minahasa Cahaya Lestari.
Perusahaan patungan itu hasil kerja sama anak usaha TOBA, Toba Bara Energi dengan Sinohydro Corporation Ltd. Komposisi kepemilikan perusahaan itu masing-masing sebesar 90% dan 10%.
Minahasa Cahaya Lestari mengerjakan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas 2 x 250 megawatt bersama Gorontalo Listrik Perdana di Sulawesi Utara.
Geliat TOBA di sektor listrik makin agresif setelah mengakuisisi 100% saham PT Batu Hitam Perkasa (BHP) milik PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. Batu Hitam Perkasa memiliki saham 5% di PT Paiton Energy yang merupakan salah satu pengembang pembangkit listrik dari swasta.
Peralihan Saham TOBA
Salah satu yang menjadi perbincangan adalah transaksi jual-beli saham TOBA pada 2016. Transaksi itu disebut membuat kepemilikan Luhut di TOBA hanya tersisa 10% melalui Toba Sejahtra.
Sejak 2012 sampai 2016, Toba Sejahtra adalah pemegang saham mayoritas TOBA dengan rata-rata sebesar 71% - 73,79%. Pada 25 Januari 2017, Toba Sejahtra disebut menjual saham TOBA sebanyak 61% kepada Highland Strategic Holding Pte., Ltd.
Alhasil, catatan kepemilikan saham Toba Sejahtra di TOBA menyusut menjadi 10% pada 2017. Lalu, siapa Highland Strategic Holding itu?
Dari beberapa informasi, Highland Strategic Holdings Pte, Ltd adalah perusahaan investasi Singapura yang memiliki fokus pada sektor energi.
Setelah mengakuisisi 61,79% saham TOBA, Highland Strategic Holdings juga menandatangani acknowledgement of Indebtedness Agreement. Penandatanganan itu berarti Highland mengakui memiliki utang kepada TOBA senilai US$25,77 juta.
Dalam laporan tahunan TOBA pada 2016, utang yang diakui Highland itu adalah Utang Toba Sejahtera, PT Kutai Energi, dan PT Kimco Armindo kepada kelompok usaha. Utang itu dinovasikan ke Toba Sejahtra berdasarkan perjanjian pada 25 Januari 2017, selanjutnya utang itu dinovasikan dari Toba Sejahtra ke Highland.
Adapun, Global Witness mengutip keterbukaan informasi TOBA mencatat Highland dimiliki oleh Watiga Trust Pte., Ltd. yang berlokasi di Singapura. Watiga adalah perusahaan trust yang mengelola aset para investor.
Kontroversi Sinohydro
Sementara itu, TOBA melakukan kerja sama dengan salah satu perusahaan yang terlibat dalam kasus INA Papers yakni, Sinohydro. Bersama Sinohydro, TOBA membuat perusahaan patungan bernama Minahasa Cahaya Lestari.
Nama Sinohydro muncul dalam kasus INA Papers terkait tuduhan korupsi, sumpah palsu, hingga pencucian uang oleh Presiden Ekuador Lenin Moreno.
Dokumen itu menunjukkan hubungan gelap antara Moreno dengan Simohydro terkait pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air Coca Codo Sinclaid di Ekuador.
Menurut anggota parlemen Ekuador Ronny Aleaga menuduh sang presiden dan Sinohydro menyetorkan uang ke perusahaan offshore Recorsa senilai US$18 juta.
Perusahaan offshore adalah perusahaan yang terdaftar di sebuah negara yang menawarkan perlakuan pajak istimewa. Selain itu, tidak melakukan bisnis di wilayah tempat perusahaannya terdaftar sampai tidak perlu laporan keuangan yang audit.
Sementara itu, harga saham TOBA sepanjang tahun berjalan ini bisa dibilang cenderung stagnan. Secara year to date, harga saham TOBA turun 1,23% menjadi Rp1.600 per saham.
Harga saham tertinggi TOBA pada tahun ini senilai Rp1.720 per saham terjadi pada 28 Februari 2019 dan 22 Maret 2019.