Bisnis.com, JAKARTA – Harga saham PT XL Axiata Tbk. sempat jatuh bangun sepanjang bulan ini. Isu merger dari induk usaha sampai perseroan menjadi pemicunya.
Sampai penutupan perdagangan Selasa (17/09/2019), harga saham EXCL naik 1,78% menjadi Rp3.440 per saham dengan kapitalisasi pasar senilai Rp36,77 triliun.
Isu ketertarikan CK Hutchison Holdings Ltd. untuk berkolaborasi dengan Axiata Grup Bhd. pada sektor telekomunikasi di Indonesia menjadi salah satu pendongkrak harga saham emiten berkode EXCL.
Hutchison adalah salah satu pemegang saham dari PT Hutchison 3 Indonesia. Artinya, kolaborasi bisnis Hutchison dengan Axiata di Indonesia adalah terkait Hutchison 3 Indonesia dengan XL Axiata.
Isu itu menjadi angin segar bagi harga saham EXCL yang sempat anjlok gara-gara batalnya negosiasi merger antara Axiata Grup dengan Telenor, perusahaan asal Norwegia, pada awal bulan ini.
Selain itu, ungkapan ketertarikan Hutchison seolah mengonfirmasi rumor yang sempat mencuat setelah Hutchison 3 Indonesia mendapatkan suntikan dana segar Rp47 triliun pada April 2019.
Setelah mendapatkan dana segar itu, operator seluler Tri itu diprediksi bisa mengakuisisi satu perusahaan operator seluler di Indonesia seperti, XL Axiata. Namun, kisah itu masih sebatas rumor yang belum terealisasi hingga saat ini.
Sempat Didepak dari Perhitungan IHSG
Sementara itu, XL Axiata yang berdiri dengan nama PT Grahametropolitan yang dimiliki oleh Grup Rajawal sempat hampir dikeluarkan dari perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 2005 gara-gara porsi saham publik atau free float menciut dari 20% menjadi 0,13%.
EXCL yang berubah nama menjadi PT Excelcomindo Pratama pada1994 resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan harga penawaran Rp2.000 pada 29 September 2005. Saat itu, Excelcomindo Pratama melepas 20% sahamnya ke publik.
Namun, 16,8% saham publik EXCL justru dibeli oleh Khazanah Bhd. Artinya, saham yang benar-benar dibeli oleh investor ritel berada di bawah 4%. Untuk itu, BEI sempat mengeluarkan EXCL dari perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan.
Alasannya, jumlah jumlah saham publik yang kecil sangat berisiko untuk digoreng sehingga bisa menganggu perhitungan IHSG. BEI pun meminta kepada manajemen EXCL untuk menambah porsi saham publik.
Kala itu, komposisi pemegang saham EXCL antara lain, 48% dimiliki PT Telekomindo Primabhakti, 25% dimiliki Telekom Malaysia melalui Indocel Holding Sdn. Bhd., 10,14% AIF (Indonesia) Ltd., Khazanah Nasional 16,81%, dan sisanya dimiliki oleh publik.
Khazanah disebut siap menambah porsi saham publik dengan melepas beberapa saham EXCL yang dimilikinya. Namun, Telekom Malaysia sempat menyatakan enggan menambah porsi saham publik dengan melepas kepemilikannya. Perusahaan asal Negeri Jiran itu justru ingin menambah kepemilikan sahamnya menjadi 60% pada Desember 2015.
Lalu, sebulan kemudian, Telekom Malaysia justru mengaku siap melepas 100 juta lembar sahamnya yang setara 0,014% saham dari EXCL ke publik.
Kini, komposisi pemegang saham EXCL antara lain, 66,36% dimiliki oleh Axiata Investment Sdn., Bhd dan sisanya dimiliki oleh publik.
XL Axiata Akuisisi dan Merger Axis
Medio 2014-an, XL Axiata membuat heboh setelah mencaplok salah satu operator seluler pedatang baru Axis.
Menurut catatan Bisnis.com, EXCL mengakuisisi PT Axis Telekom Indonesia senilai US$865 juta. Dalam proses akuisisi itu, EXCL mendapatkan dana US$500 juta dari pemegang saham, sedangkan US$365 juta berasal dari pinjaman dari tiga bank, yakni Bank UOB, Bank of Tokyo-Mitsubishi, dan Bank DBS.
EXCL mengambil alih Axis dari tangan pemegang saham mayoritasnya, yakni Saudi Telecom Company. Setelah itu, XL Axiata meleburkan diri dengan perusahaan telekomunikasi yang baru dicaploknya tersebut.
Namun, rencana merger XL Axiata dengan Axis itu sempat terhambat akibat masalah perpindahan penggunaan frekuensi. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian saat itu Hatta Rajasa meminta agar aksi merger kedua operator seluler itu tidak sampai melanggar aturan.
Menteri Komunikasi dan Informasi saat itu Tifatul Sembiring berbeda pendapat terkait akuisisi merger EXCL dengan Axiata. Dia justru menilai bisa memberikan keuntungan kepada negara jika biaya hak penggunaan frekuensi Axis yang tertunggal senilai Rp1 triliun bisa dibayarkan.
“Namun, frekuensi itu harus dikembalikan dulu kepada negara, baru kemudian dilakukan tender ulang. Jika tanpa tender ulang, negara justru bisa rugi karena tidak bisa mendapatkan pendapatan maksimal,” ujarnya dalam catatan Bisnis.com pada 19 Februari 2014.
Nah, jika Tri dan EXCL benar-benar melakukan kolaborasi seperti, konsolidasi atau merger, kira-kira bakal berpolemik seperti saat XL merger dengan Axis enggak ya?