Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mimpi Startup Unikorn Melantai di Bursa, Bakal Cerah atau Suram?

Rencana Startup Unikorn IPO tengah dinanti-nantikan mayoritas investor saham di Indonesia. Bayangkan, siapa yang tidak bermimpi menjadi pemegang saham Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan OVO. Namun, benarkah IPOnya Unikorn akan selalu membawa berkah?

Bisnis.com, JAKARTA - Startup Unikorn sangat dinanti-nantikan untuk bergegas melantai di bursa. Apalagi, saat ini Indonesia sudah memiliki 1 dekakorn dan 4 unikorn. Siapa yang tidak tertarik menjadi pemegang saham Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan Ovo?

Penantian investor saham di Indonesia melihat dekakorn dan unikorn melantai di bursa bisa dibilang cukup logis. Apalagi, jika berkaca kepada kinerja saham Alibaba, salah satu startup yang berawal dari marketplace dan terus  menjalar ke berbagai sektor.

September 2014 seolah menjadi momentum berkesan bagi New York Stock Exchange. Alibaba menawarkan saham perdananya di bursa Amerika Serikat (AS) itu dengan harga penawaran saham perdananya senilai US$68 per saham. Dari aksi penawaran perdana atau initial public offering (IPO), Alibaba menghimpun dana sekitar US$21,8 miliar.

Dengan harga penawaran US$68 per saham, perusahaan asal China itu dihargai sekitar US$168 miliar. Pada periode yang sama, nilai itu sudah melebihi Amazon yang memiliki kapitalisasi pasar US$150 miliar, tetapi masih di bawah Facebook yang memiliki kapitalisasi pasar sekitar US$200 miliar. Alibaba pun dianggap sebagai salah satu perusahaan teknologi yang paling berharga di dunia.

Dalam 5 tahun, harga saham Alibaba sudah melejit 156,33% dari harga penawaran perdananya menjadi US$174,31 per saham [Pada perdagangan 25 Oktober 2019]. Kapitalisasi pasarnya pun tembus US$453,83 miliar.

Jadi, apakah berlebihan kalau investor melihat prospek cerah jika startup dekakorn dan unikorn melantai di bursa?

Euforia Unikorn dan Kenangan Bubble dotcom

Kesuksesan Alibaba bukan berarti akan menular ke perusahaan startup lainnya. Fenomena startup saat ini pun mengingatkan kembali kepada fenomena bubble dotcom.

Kala itu, perusahaan berbasis internet tengah menjamur pada era 1990-an seiring dengan ditemukannya internet.

Menyambut era baru itu, banyak perusahaan yang memberikan jasa secara cuma-cuma kepada konsumen demi mengehar trafik. Perusahaan-perusahaan itu pun berharap mendapatkan keuntungan dari strategi memperkuat brand awareness di mata konsumen.

Bisa dibilang, perusahaan internet kala itu berani 'bakar uang' demi bisa menguasai pasar. Tak hanya itu, perusahaan internet juga berbondong-bondong masuk bursa.

Dari riset Bisnis, ada 371 perusahaan internet yang melantai di bursa saham pada periode tersebut. Bahkan, nilai kapitalisasinya mencapai US$1,3 triliun atau setara dengan 8% dari pasar saham AS secara keseluruhan.

Era dotcom mencapai puncaknya pada Maret 2000, kala itu posisi indeks Nasdaq mencapai 5.048. Nilai itu dua kali lipat lebih tinggi ketimbang periode sebelumnya.

Namun, setelah Maret 2000, saham perusahaan dotcom malah rontok. Sentimen negatif pun diperkuat oleh tuduhan Microsoft yang melakukan praktik monopoli. Dari level 5.048 pada 10 Maret 2000, indeks NASDAQ runtuh ke 3.649 pada 4 April 2000.

Memasuki 2001, perusahaan internet bak mengibarkan bendera putih. Bubble yang meletus membuat banyak perusahaan kesulitan menghasilkan laba, sampai saham perusahaan internet dijuluki dot-bombs.

Sinyal dari UBER

Kekhawatiran terkait bubble startup memuncak ketika Uber, dekakorn bervaluasi US$76 miliar [sebelum melantai di bursa], tidak mencapai target penawaran perdananya.

UBER yang menawarkan saham perdana senilai US$45 per saham dengan target dana US$10 miliar hanya mampu menghimpun US$8,1 miliar.

Harga saham UBER pun terus menyusut di bawah harga penawaran perdananya. Sampai penutupan perdagangan 25 Oktober 2019, harga saham UBER turun 1,71% secara harian menjadi US$32,71 per saham.

Kinerja UBER semester I/2019 pun memburuk setelah alami kerugian US$6,24 miliar dibandingkan dengan laba US$2,87 miliar pada periode sama tahun lalu.

Berbeda dengan UBER, Unikorn asal China Luckin Coffe masih lebih beruntung. Melantai sepekan setelah UBER, Luckin Coffee yang menawarkan harga perdana US$17 per saham mampu meraup dana US$561 juta.

Harga sahamnya pun masih bergerak di atas harga penawaran perdana, meskipun terkesan stagnan di level US$20 per saham.

Sampai penutupan perdagangan 25 Oktober 2019, harga saham Luckin Coffee melemah 2,79% secara harian menjadi US$20,87 per saham.

Unikorn Indonesia Menuju Bursa?

Sejak awal tahun ini, unikorn Indonesia sudah dibombardir dengan rumor melantai di bursa.

Teranyar, Tokopedia yang dikabarkan tengah mempertimbangkan rencana melantai di bursa, meskipun detail rencana melepas saham ke publik itu masih tidak terlalu jelas.

Di sisi lain, Bursa Efek Indonesia juga sudah berbicara dengan beberapa unikorn Indonesia. Salah satunya, Traveloka.

Dikutip dari catatan Bisnis.com, Direktur Penilaian dan Perusahaan Bursa Efek INdonesia I Gede Nyoman Yetna mengungkapkan pertemuannya dengan Traveloka terkait rencana IPO pada April 2019.

"Intinya mereka tertarik untuk go public," ujarnya.

Namun, Traveloka pun belum menentukan waktu untuk melantai di bursa karena mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya terkait perpajakan.

Apakah sobat bisnis masih menantikan IPOnya startup dekakorn atau unikorn?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ahmad Rifai
Editor : Surya Rianto

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Infografik Lainnya

Berita Terkini Lainnya

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper