Bisnis.com, JAKARTA — Harga nikel diramal bakal kembali turun pada tahun ini di tengah pasokan yang tetap melimpah dari Indonesia dan Filipina, dua produsen terbesar dunia.
Sepanjang tahun lalu, harga nikel di London Metal Exchange (LME) terpangkas di atas 40%, mendorong banyak perusahaan menutup aset tambang nikelnya. Hal yang sama bahkan juga menimpa raksasa-raksasa tambang dunia seperti Glencore dan BHP Group.
Glencore berencana menjual sahamnya di Koniambo Nickel SAS alias KNS di Kaledonia Baru. Meski Pemerintah Prancis telah menawarkan bantuan dan subsidi, perusahaan menyatakan bahwa operasi di aset tambang tersebut tetap tidak akan menguntungkan dengan iklim harga komoditas saat ini.
Pada saat bersamaan, BHP Group Ltd. mengantongi kemerosotan laba bersih sebesar 86% sepanjang 2023 dibandingkan tahun sebelumnya.
Pekan lalu, perusahaan tersebut mengumumkan akan melakukan penurunan nilai sebesar US$2,5 miliar pada nilai aset nikel Australia, yang mungkin akan dihentikan pada akhir tahun ini setelah dilakukan peninjauan.
Bank Dunia, dalam laporan Commodity Market Outlook yang terbit Oktober tahun lalu meramalkan bahwa rata-rata harga nikel akan kembali turun ke level US$2.000 per metrik ton.
Harga nikel memang sempat menguat sejak pandemi Covid-19 atau pada 2021. Angkanya bahkan melonjak pada 2022 menjadi US$25.833,73 per metrik ton dibayangi prospek yang cemerlang dari industri kendaraan listrik.
Banjir pasokan dari Indonesia kemudian membuat harga nikel melempem, diproyeksikan menjadi US$21.521,12 sepanjang 2023. Adapun, setelah turun pada tahun ini, Bank Dunia meramal harga nikel akan membaik pada tahun depan dengan penguatan sekitar 9%.